Islam Agama Yang Benar


H. Mohamed Lorand : Menebarkan Cinta Kasih Sebelum Masuk Islam
Aku pernah menginjak 50 negara, mengunjungi 5 benua dan menguasai 12 bahasa, baik lisan maupun tulisan. Diantaranya Bahasa Perancis, Rusia, Jerman, Thailand, Inggris, Romania, Hongaria, Indonesia, Nepal dan lainnya. Namun mengapa masih banyak orang yang menganggapku ‘orang bego’ (bodoh). Apakah karena aku menghabiskan waktu sepanjang hari bersama anak-anak kurang beruntung dan orang-orang pinggiran?

Aku lahir dalam keadaan yatim, di sebuah kota kecil, Oradea Rumania atau sekitar 14 km berbatasan dengan Hongaria pada 7 Januari 1951. Ketika aku lahir, orang tua memberi nama Lorand Mircea Kunta. Ayahku bernama Mircea Groza, seorang insinyur kehutanan dan ibuku, Anna Maria, bekerja sebagai sopir bus kota. Aku anak tunggal. Hidup kami sangat sederhana. Tak salah kiranya apabila jiwaku sudah terbiasa dengan kekurangan. Kami sekeluarga memeluk agama Katolik, namun tidak fanatik. Misalnya ibu tidak memaksaku untuk pergi ke gereja.

Sejak kecil, aku sudah ditekankan ibu untuk senantiasa membagi senyum kepada siapa saja, menebarkan cinta kasih terhadap sesama, menghormati dan menolong orang lain serta menyayangi semua makhluk. Aku masih ingat ketika menemani ibu, bagaimana tantangan yang harus dihadapi ibu dalam membesarkanku, tanpa ayah, dengan mengendarai bus kota setiap hari yang sesak dengan penumpang. Aku selalu tersenyum dengan mereka dengan mengucapkan “hello”, meskipun aku tidak mengenalnya. Dari kejadian sehari-hari yang kutemui, aku banyak belajar hal-hal baru.

Ketika usia 19 tahun, aku bersama ibu hijrah (pindah) ke Canbera Australia di tempat paman. Memang sebelumnya paman berjanji akan mengajak ibu ke sana. Aku berharap, dengan hijrah ini aku harus belajar lagi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, bahasa baru, adat istiadat baru dan sebagainya. Beruntung, aku bisa menyelesaikan pendidikan akademi pariwisata jurusan perhotelan di Canbera.

Setelah menetap tiga tahun di sana, aku merasa kesal karena belum juga bisa bahasa Inggris. Akhirnya aku kabur ke Kaledonia Baru, kawasan Laut Pasifik (Pulau-pulau Perancis). Disinilah aku mengenal dan bisa bahasa Perancis serta mulai mengelilingi dunia. Tujuanku mengunjungi negara-negara orang, tidak lain untuk mencari saudara yang tak kenal, tapi kita boleh kenal dengan mereka. Dimana pun aku singgah, aku senantiasa beramal dan menerapkan ajaran-ajaran yang ibu sampaikan. Jelas, petualanganku bukan untuk kepentingan agama, melainkan hanya ingin menambah saudara baru, ilmu baru dan semua yang belum aku temukan selama ini.


KEJUTAN
Sejak muda aku tidak pernah mengenal keyakinan lain selain agama Katolik. Menjelang akhir tahun 1974, untuk pertama kalinya aku datang ke Indonesia, tepatnya di pulau Bali. Disinilah aku mengenal agama Hindu dan sempat mempelajarinya. Mengingat kian hari bekalku semakin menipis, aku pun melanjutkan perjalanan ke Surabaya, Jawa Timur. Setelah sampai di sana, ternyata tidak ada uang sepeser pun di tanganku. Terpaksa malam pertama di Surabaya aku lewati dengan menikmati tidur di pinggir jalan raya seraya menahan perasaan lapar.

Sore menjelang malam kedua, aku berfikir, kalau tidur di jalan lagi, pasti nggak lama umurku. Aku pun memutuskan untuk memasuki gang kecil dengan harapan di sana ada kehidupan manusia. Selepas menyusuri lorong gelap, aku menemukan sekumpulan anak muda sedang berkumpul sambil bermain gitar. Waktu itu aku sudah sedikit bisa bahasa Indonesia. Kepada mereka aku katakan, kalau aku belum makan dan ganti baju.

Salah seorang diantara mereka menawarkan rumah tantenya yang kosong untuk kusinggahi. Aku senang dengan tawaran itu. Lalu aku diberi sarung, sabun, pasta gigi dan lainnya. Singkat cerita, malam itu aku tidur di situ dengan perasaan nyaman. Mereka mau menerima kehadiranku sebagai orang baru, mungkin karena aku bersikap baik dan mampu menyesuikan diri.

Saat aku terlelap dalam indahnya mimpi, aku bangun terkejut karena ada suara-suara rebut di sebelah rumah. Padahal yang aku tahu, suasananya masih pagi dan matahari juga belum menampakkan sinarnya. Pikirku, mereka sinting (gila) dan aku tidak mau lagi ada di sini. Aku bertanya-tanya, apa yang diributkan mereka? Pasalnya selama di Australia, aku belum pernah mendengarkannya.

Aku bertanya pada tuan rumah. Menurut tuan rumah, itu suara azan subuh sebagai tanda penggilan shalat untuk umat Islam. Memang tidak jauh dari rumah itu terdapat mushalla.

Aku pun bertanya, apa itu azan dan apa itu shalat? Tuan rumah menjelaskan panjang lebar, sehingga aku bisa memahaminya. Dengan adanya azan, berarti aku mendapat wawasan baru dan mengajak belajar hal baru. Aku piker, ini kejutan (surprise) yang tak pernah aku duga.

Di samping itu, karena mungkin aku lahir dari latar belakang orang jalanan serta dari kecil sudah diajari untuk beramal sebaik mungkin, rasanya aku bergabung dengan ajaran Islam tidak seberat seperti orang lain yang belum pernah beramal. Perbuatan yang aku sering lakukan misalnya amal lewat pergaulan, menebarkan cinta kasih, membagi senyum, menghormati serta menghargai semua makhluk manusia.

Singkat waktu, tanpa ada paksaan dari siapa pun dan muncul dari hati nurani, akhirnya aku memutuskan untuk memeluk agama Islam pada Januari 1975 dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan namaku berganti Mohamed Lorand. Orang tua tidak melarangku. Kebetulan masyarakat di sekitarku banyak orang Islam, sehingga mereka mau mengajariku bagaimana berwudhu, tata cara shalat dan persoalan lain yang berkaitan dengan Islam. Aku pun secara perlahan mempelajari ajaran dan rahasia Islam melalui komunikasi. Semua ini proses baru yang harus kutempuh, namun kujalani dengan senang hati.

Tak berapa lama kemudian, tepatnya pertengahan 1975 aku keluar dari Indonesia dan masuk ke Malaysia dalam rangka hijrah. Di Malaysia, orang-orang di sana heran dengan perilaku baikku. Mereka mengatakan, sesuatu yang aku lakukan sesuai dengan apa yang tertulis di dalam kitab suci al-Qur’an. Padahal kalau aku jujur, kebiasaan ini bisa muncul dari lubuk hati.

Hampir tidak banyak hambatan yang aku temui setelah masuk Islam, karena memang aku terbiasa dengan hidup miskin. Peristiwa paling heboh ketika aku mau sunat (khitan) di Australia. Menurut aturan Islam, kalau ada muallaf, sementara belum dikhitan kemaluannya, maka wajib dikhitan. Pembaca mungkin akan tertawa melihat sikapku yang memikirkan masalah ini selama empat bulan, apakah aku harus dikhitan atau tidak? Bagaimana tidak, ketika itu usiaku sudah remaja. Sebenarnya bagiku, manfaat dikhitan paling tidak aku sadar untuk memahami dan mengikuti ajaran sendiri. Akhirnya kuputuskan pergi ke dokter untuk disunat. Kebetulan sekali dokternya orang India yang beragama Islam dan mendukung rencanaku.

Selanjutnya aku hijrah ke tempat lain, karena aku memang senang melakukan perjalanan. Kebetulan waktu itu ada perjalanan darat antara Sidney dengan London. Sejak itu aku beli tiket dengan rute Sydney-Darwin-Kupang-Bakau-Jakarta-Singapura-Kualalumpur-Bangkok-Katmandu (Ibu Kota Nepal)-Afghanistan-Irak-Iran dan berakhir di Turki


PANGGILAN AKRAB
Entah tak terhitung sudah berapa kali aku bolak-balik antara Australia-Indonesia. Sampai sekarang, aku masih tercatat sebagai warga Negara Australia dan di Indonesia menggunakan izin menetap. Pengalaman kerjaku malang melintang di dunia perhotelan sebagai koki (juru masak). Berbagai hotel berbintang di Eropa, Asia dan Indonesia pernah aku masuki.

Masyarakat memanggilku Abang Lorand. Aku senang dengan panggilan itu, karena sebutan abang memiliki kisah sendiri. Dulu aku pernah tinggal di Medan. Awalnya para tukang becak sering mengajakku minum kopi dan memanggilku abang. Terus aku bilang kalau aku tidak punya uang. Mereka bilang tidak apa-apa, karena mereka yang akan menraktirnya.

Setelah selesai, tukang becak itu pergi karena ada penumpang. Kemudian datang lagi tukang becak lain yang juga mengajak minum kopi dan memanggilku abang juga. Lama kelamaan mereka memanggilku abang. Tak berapa lama aku datang ke Jakarta dan dipanggil mister (tuan) oleh orang-orang. Tapi kok panggilan itu kedengarannya asing ditelingaku. Jangan panggil aku mister, panggil saja abang, begitu saranku. Secara kebetulan di Jakarta ada istilah abang-none. Dari sinilah panggilan akrabku menjadi Abang Lorand.

Aku menikah pada Agustus 1991 dengan wanita asal Blitar Jawa Timur, Seminarti namanya. Sebelumnya, istriku beragama Katolik, namun aku mengajaknya untuk pindah dan dia mau memeluk agama Islam pada 1992. Aku bahagia bersamanya. Pada 1994, aku mendapatkan anugerah lagi, pasalnya ibuku ikut memeluk Islam. Tahun 1997 aku kehilangan orang yang aku cintai, istriku meninggal dunia. Pernikahanku dengannya tidak menghasilkan seorang anak.

Sejujurnya aku ingin sekali berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji, namun tak tahu dari mana biayanya. Tanpa disangka, aku mendapatkan rezeki dan Alhamdulillah bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu sampai dua kali, yakni tahun 1995 dan 1996. Adapun biaya berangkat dari PT. Tiga Utama sebagai hadiah dan diongkosi oleh Direktur Bimantara.

Ceritanya waktu itu aku buka puasa bersama di kantor Bimantara dan berbincang dengan Pak Direktur. Dalam kesempatan itulah ia menawarkan aku untuk pergi haji. Kesempatan itu tentu saja tidak kusia-siakan.


PENGALAMAN MENGAGUMKAN
Sejak kecil, aku sudah biasa dengan sikap tolong-menolong, gotong royong, menghargai sesama manusia dan membagi senyum kepada semua orang. Intinya aku sangat mengutamakan pergaulan. Sebab persahabatan merupakan contoh praktek dari ajaran agama. Islam adalah ajaran dan ajaran itu harus diamalkan. Bagiku, ajaran agama itu lebih penting dibumikan dari pada pintar ngomong tapi tidak ada karya nyatanya.

Hobiku memang bergabung dengan manusia dan untuk mendekati mereka, maka aku harus tahu, belajar dan paham semuanya. Artinya belajar berkomunikasi dengan siapa pun. Aku selalu berpikir, bagaimana mungkin kita bisa berbaur dengan makhluk lain, kalau kita tidak punya cinta kasih? Keyakinan ini sudah tertanam dalam hati dan mengalir dalam darah serta menghasilkan karunia yang kadang di luar dugaanku.

Contohnya tahun 1986, aku datang ke Jakarta dalam keadaan bangkrut. Aku numpang di rumah orang, sementara uang tinggal 200 rupiah. 150 rupiah untuk bayar mobil angkutan umum dan dikantong tinggal 50 rupiah. Aku bertanya dalam hati, kenapa aku mesti menangis karena tidak ada materi? Kemudian aku datang ke kantor Menpora (Menteri Peranan Olahraga) untuk bertemu dengan seseorang yang sudah kukenal baik.

Setelah berjumpa, aku bilang padanya, “Sebelumnya aku tidak pernah miskin ini, tapi kenapa sekarang aku cuma punya uang 50 rupiah?” Tak lama kemudian dia langsung mengeluarkan dompet dan memberikan uang kepadaku sebanyak 15.000 ribu rupiah. Aku bersyukur kepada Allah sub’hanahu wata’ala atas rizki tersebut melalui kebaikan tangannya.

Lalu dia menanyakan pekerjaan saya sekarang. Kebetulan aku tidak memiliki pekerjaan pada waktu itu. Maka ia menawariku untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada beberapa pemuda yang akan mengikuti kompetisi bahasa Inggris antar Negara. Aku pun menyetujuinya dan dikontrak selama tiga bulan. Begitu keluar, aku menangis sambil berdoa, kalau uangku tinggal 50 rupiah, siapa yang akan menolongku untuk makan besok? Ternyata ada makhluk-Nya yang menyelamatkan tanpa disangka.

Contoh lainnya, aku pernah berteman dengan orang gila di Medan. Dia gila karena sesuatu kejadian yang tidak disengaja sehingga membuat otaknya tidak berfungsi normal, tapi aku menganggapnya tetap sebagai saudara kita. Maksudku saudara yang harus disayangi, dikasihi, dihormati sebagai manusia dan makhluk Allah sub’hanahu wata’ala. Masyarakat bilang, orang tersebut jahat. Menurutku tidak. Sebab setelah aku mendekatinya dalam suatu proses, ternyata dia tidak jahat padaku.

Ada lagi pengalamanku yang mengagumkan. Dulu aku mengenal seorang wanita, namanya Fatimah. Tiba-tiba rumahnya terbakar dan dia mengalami tekanan jiwa yang menyebabkan stres. Di pinggir jalan, bajunya selalu dibuka tanpa dia sadari. Kebetulan aku sering lewat di jalan itu kalau mau berangkat kerja di Hotel Pardede Medan. Hampir setiap hari aku membelikan roti untuknya dan memberikan sedikit uang jajan. Dia mau menerimanya. Lama kelamaan setelah 4 sampai 5 bulan, kami sudah mulai saling kenal.

Setiap kali aku pergi jalan, dari jauh Fatimah kelihatan memakai baju tapi terbuka karena kancing bajunya tidak dipasang serta tidak memakai celana dalam. Rupanya dia melihatku dan dia langsung mengancingkan bajunya sendiri. Itu memberi satu contoh kepadaku bagaimana makhluk itu mengerti batas dan menghormati orang yang benar. Kenapa aku bilang dia tidak stres, karena dia bisa menghormatiku sebagai orang baik dengan cara mengkancingkan bajunya sendiri.

Dalam hidup ini, aku memang tidak suka sikap sombong dan merendahkan orang lain. Setiap saat aku mencoba rendah hati di depan-Nya dan para makhluk-Nya. Sebab yang aku lakukan dalam hidup ini hanya amal, amal dan amal sampai akhir hayat. Aku yakin, setiap kali kita salah dalam melakukan sesuatu, pasti ada orang yang akan menolong untuk memperbaikinya dan ini sudah seringkali aku alami.

Namun yang lebih penting dan kita perlukan adalah mempunyai kesadaran luar biasa. Maksudnya menyadari situasi, kondisi dan kenyataan. Sebab kita sebagai makhluk pasti akan mengalami benturan budaya, kebiasaan dan lain-lain. Kalau kita merasa benar sendiri, tapi ada orang yang lebih benar, maka kita harus menerima kenyataan itu, jangan menantangnya.


MENGASUH ANAK
Aku ingin membuktikan bahwa apa yang kuucapkan bukan hanya isapan jempol belaka. Mengingat aku memiliki kemampuan menguasai bahasa asing, aku sering diminta orang untuk mengajar bahasa Inggris. Uangnya aku gunakan untuk keperluan anak-anak yang aku angkat dari jalanan sejak 1989 Tujuannya untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkualitas melalui pendidikan umum dan agama.

Awalnya jumlah anak asuhku sedikit. Aku sadar, tanatangan yang kuhadapi banyak. Makin lama, jumlah mereka semakin bertambah. Akhirnya tahun 1992, secara resmi aku mendirikan yayasan dengan nama “Nusantara Foundation”.

Motivasi mendirikan Nusantara Foundation karena selain aku tidak punya anak, aku ingin beramal kepada orang lain. Aku tidak pernah memikirkan apa pun, kecuali selain untuk membantu orang. Aku ikhlas melakukannya dan Allah sub’hanahu wata’ala memberikan petunjuk serta mengetahui semuanya. Mungkin karena aku terus menolong orang, alhamdulillah donatur dan masyarakat pun kadang datang memberikan sumbangan tanpa diundang.

Saat ini, ada sekitar 80 anak yang kami sekolahkan dari tingkat SD sampai SMA yang berasal dari sebagian kota di Indonesia dan kami mengeluarkan 35 juta perbulan untuk segala keperluan mereka. Sepenuhnya aku sadar bahwa aku telah dibesakan oleh masyarakat dan akan kembali ke masyarakat. Untuk itulah, tak lupa kupanjatkan rasa syukur kepada-Nya atas semua nikmat ini.

Sekarang aku tidak lagi menjadi koki hotel yang mendapat gaji besar, tapi setiap hari kegiatanku mengurus mereka serta berkeliling mencari dana untuk biaya hidup mereka dengan sepeda motor bututku. Mungkin aku satu-satunya bule yang mau ‘mengemis’ untuk kepentingan rakyat kecil. Karena aktivitas inilah barangkali orang menganggapku ‘orang bego’. Aku tidak malu melakukan pekerjaan ini. Untuk anak yang mau bergabung di sini, mereka harus punya cita-cita dan kemauan niat belajar serta kita memberi kesempatan kepada mereka untuk menerima kondisi yang ada. Jelasnya kita tidak memaksa siapa pun.

Aku masih ingat, waktu kecil aku bercita-cita ingin menjadi duta besar. Sebab bisa keliling dunia dan harus bisa menguasai minimal dua sampai tiga bahasa dengan membawa misi kenegaraan. Namun, duta besar yang aku jalani sekarang jauh lebih berharga, yakni menjalin dan menjaga hubungan antar sesama makhluk serta membahagiakan semua orang.

Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah menyediakan tempat untuk hijrah. Dengan selalu hijrah dari tempat satu ke tempat lainnya, aku mendapat pengalaman, ilmu, petualangan dan sesuatu yang baru yang belum aku temui sebelumnya. Barangkali pesanku untuk orang lain, buatlah sebanyak mungkin suatu amal yang baik sepanjang hari tanpa merasa lelah dan tanpa mengenal kata cape. Insya Allah kita menjadi orang yang berarti dalam hidup ini. Amin. (Lukman H)

Salam Santun

Tidak ada komentar